Pendidikan Non Formal dan Peranannya dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum
jenjang pendidikan dasar yang
merupakan suatu upaya pembinaan
yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia
enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani
dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini
merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir,
daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional
(sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan
keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Tujuan diselenggarakannya
pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan Utama: untuk membentuk
anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang
sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang
optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di
masa dewasa, Tujuan Penyerta: untuk membantu menyiapkan anak
mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU
Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian
rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD
dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun. (http://id.wikipedia.
org/wiki/Pendidikan_anak_usia_dini).
Arti pentingnya
pendidikan dini pada anak telah menjadi perhatian internasional. Dalam
pertemuan Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di Dakkar, Senegal, telah
menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan untuk
semua (The Dakkar Frame work for Action Education for All) yang
salah satu butirnya menyatakan: “memperluas dan memperbaiki keseluruhan
perawatan dan pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama bagi anak-anak
yang sangat rawan dan kurang beruntung.
Anggapan bahwa
pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh
tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia
Taman Kanak-kanak (4-6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Menurut
hasil penelitian di bidang neurologi seperti yang dilakukan oleh Dr.
Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago,
Amerika Serikat, mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada
anak usia 0-4 tahun mencapai 50% (Cropley, 1999: 94). Artinya bila pada
usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal maka
otak anak tidak akan berkembang secara optimal.
Hasil penelitian di
Baylor College of Medicine menyatakan bahwa lingkungan memberi peran
yang sangat besar dalam pembentukan sikap, kepribadian, dan pengembangan
kemampuan anak secara optimal. Anak yang tidak mendapat lingkungan baik
untuk merangsang pertumbuhan otaknya, misal jarang disentuh, jarang
diajak bermain, jarang diajak berkomunikasi, maka perkembangan otaknya
akan lebih kecil 20 - 30% dari ukuran normal seusianya (Depdiknas,
2003:1).
Secara keseluruhan
hingga usia delapan tahun, 80% kapasitas kecerdasan manusia sudah
terbentuk, artinya kapasitas kecerdasan anak hanya bertambah 30% setelah
usia empat tahun hingga mencapai usia delapan tahun. Selanjutnya
kapasitas kecerdasan anak tersebut akan mencapai 100% setelah berusia
sekitar 18 tahun (Abdulhak, 2002). Oleh sebab itu masa kanak-kanak dari
usia 0-8 tahun disebut masa emas (golden Age) yang hanya
terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga
sangatlah penting untuk merangsang pertumbuhan otak anak melalui
perhatian kesehatan anak, penyediaan gizi yang cukup, dan pelayanan
pendidikan.
Layanan
pendidikan anak usia dini di Indonesia masih termasuk sangat
memprihatinkan. Oleh sebab itu peran pendidikan luar
sekolah sangat penting untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
Pengertian Pendidikan Non Formal
Pendidikan nasional,
sebagai salah satu sistem dari supra sistem pembangunan nasional,
memiliki tiga subsistem pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 yaitu pendidikan formal, pendidikan
nonformal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal disebut juga
pendidikan sekolah sedangkan pendidikan nonformal dan informal tercakup
ke dalam pendidikan luar sekolah.
Menurut pengertian
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 12 “Pendidikan nonformal
adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang” sedangkan ayat 13
menyatakan “Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan”.
Coombs
(Trisnamansyah, 2003: 19) mendefinisikan nonformal education sebagai
setiap kegiatan pendidikan yang diorganisasikan di luar sistem
persekolahan yang mapan baik dilakukan secara terpisah atau sebagai
bagian penting dari kegiatan yang lebih besar, dilakukan secara sengaja
untuk melayani peserta didik tertentu guna mencapai tujuan belajarnya.
Sudjana (2001: 63)
pendidikan luar sekolah telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan
kehadiran manusia yang berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini
dimana situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan kelompok dan
masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam kelompok dan masyarakat telah
dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di
dalam kehidupan masyarakat. Pada waktu permulaan kehadirannya,
pendidikan luar sekolah dipengaruhi oleh pendidikan informal, yaitu
kegiatan yang terutama berlangsung dalam keluarga dimana terjadi
interaksi di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap,
nilai, dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar
untuk tumbuhnya perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini.
Dalam perkembangan
selanjutnya, kelompok-kelompok yang terdiri dari keluarga-keluarga
mengadopsi pola transmisi tersebut ke dalam kehidupan kelompok seperti
keterampilan bercocok tanam. Kegiatan belajar-membelajarkan tersebut
yang dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun
temurun itulah yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional
yang kemudian menjadi akar pertumbuhan pendidikan luar sekolah.
Sejak awal kehadirannya
di dunia ini, pendidikan luar sekolah telah berakar pada tradisi dan
adat istiadat yang dianut oleh masyarakat yang mendorong penduduk untuk
belajar, berusaha, dan bekerjasama atas dasar nilai-nilai budaya dan
moral yang dianut oleh masyarakat tersebut. Hal ini biasanya terdapat
dalam pepatah dan nasehat para orang tua yang intinya mendorong
seseorang untuk melakukan kegiatan belajar, berusaha, dan bekerjasama
dalam masyarakat.
Asas Pendidikan Sepanjang Hidup
Pendidikan luar sekolah
didasari oleh empat asas yaitu asas kebutuhan, asas pendidikan
sepanjang hayat, asas relevansi dengan pembangunan masyarakat, dan asas
wawasan ke masa depan. Dalam hal ini perhatian lebih ditujukan pada asas
pendidikan sepanjang hayat yang relevan dengan topik yang sedang
dibahas. Hawes, (Trisnamansyah, 2003: 7) mengemukakan dua puluh
karakteristik pendidikan sepanjang hayat, antara lain:
1. Pendidikan sepanjang hayat tidak hanya terbatas
pada pendidikan orang dewasa tapi juga meliputi serta menyatukan semua
tingkat pendidikan prasekolah, SD, SLTP dan seterusnya. Ini merupakan
pandangan pendidikan secara menyeluruh.
Berdasarkan
karakteristik di atas maka pendidikan prasekolah telah diakui sebagai
bagian dari pendidikan sepanjang hayat. Hal yang sama juga diungkapkan
oleh Worth, W.H. (Cropley, 1999: 43) yang mengemukakan bahwa pendidikan
tidak boleh menolak anak di bawah umur enam tahun dan menganjurkan
pendidikan anak-anak awal yang disebutnya “Early Ed.
Tiga tujuan pokok “Early Ed”, yang meliputi
perlengkapan stimulasi, membantu pemahaman identitas, dan menciptakan
pengalaman sosialisasi yang tepat. Aspek terpenting anjuran Worth ialah
pendidikan anak usia dini sebagai fase pertama sistem pendidikan seumur
hidup. Ia menyarankan bahwa tujuannya harus memuat pengembangan
keterampilan untuk mendayagunakan informasi dan simbol-simbol,
meningkatkan apresiasi bermacam-macam mode ekspresi diri, memelihara
keinginan dan kemampuan berpikir, menanamkan keyakinan setiap anak
tentang kemampuannya untuk belajar, membantu perasaan harga diri, dan
akhirnya, meningkatkan kemampuan untuk hidup dengan orang lain. Worth
melihat pendidikan anak usia dini meliputi variable yang kompleks dalam
bidang kognitif, motivasi dan sosio affektif yang jika berkembang dengan
tepat akan menjadi basis pemenuhan diri dalam kehidupan. Dengan
demikian Worth mengakui pentingnya pendidikan anak-anak usia prasekolah
sebagai salah satu fase pendidikan seumur hidup.
2. Rumah memegang peranan pertama, tajam dan
penting dalam memulai proses belajar sepanjang hayat yang terus
berlanjut sepanjang kehidupan individu melalui proses belajar keluarga.
Dalam keluargalah anak pertama kali mendapatkan pengalaman belajarnya
dimana diketahui bersama bahwa keluarga merupakan tempat belajar di luar
sekolah. Di dalam kehidupan keluarga ini terjadi interaksi, di dalamnya
berupa transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan
kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk tumbuhnya
perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini (Sudjana, 2001: 63).
3. Pendidikan Luar Sekolah Dalam Optimalisasi
Tumbuh Kembang Anak
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal (Taman Kanak-kanak, Raudatul Athfal, atau bentuk lain yang sederajat), jalur pendidikan nonformal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, atau bentuk lain yang sederajat), dan/atau jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal (Taman Kanak-kanak, Raudatul Athfal, atau bentuk lain yang sederajat), jalur pendidikan nonformal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, atau bentuk lain yang sederajat), dan/atau jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Oleh karena itu sudah
sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah yang mencakup pendidikan
nonformal dan informal dalam memberikan pelayanan pendidikan dini kepada
anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur pendidikan formal.
Pendidikan Anak Usia Dini
Anak usia dini
sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003
pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa: “Pendidikan anak usia dini
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut”. Batasan lain mengenai usia dini pada anak berdasarkan
psikologi perkembangan yaitu antara usia 0–8 tahun.
Di samping istilah
pendidikan anak usia dini terdapat pula terminologi pengembangan anak
usia dini yaitu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan atau pemerintah
untuk membantu anak usia dini dalam mengembangkan potensinya secara
holistik baik aspek pendidikan, gizi maupun kesehatan (Direktorat PADU,
2002:3).
Pertumbuhan sering
dikaitkan dengan kata perkembangan sehingga ada istilah tumbuh kembang.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan bagian dari
perkembangan. Namun sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan adalah dua
hal yang berbeda. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran dan bentuk tubuh
atau anggota tubuh, misalnya bertambah berat badan, bertambah tinggi
badan, bertambah lingkaran kepala, bertambah lingkar lengan, tumbuh gigi
susu, dan perubahan tubuh yang lainnya yang biasa disebut pertumbuhan
fisik. Pertumbuhan dapat dengan mudah diamati melalui penimbangan berat
badan atau pengukuran tinggi badan anak. Pemantauan pertumbuhan anak
dilakukan secara terus menerus dan teratur.
Adapun perkembangan
adalah perubahan mental yang berlangsung secara bertahap dan dalam waktu
tertentu, dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih
sulit, misalnya kecerdasan, sikap, tingkah laku, dan sebagainya. Proses
perubahan mental ini juga melalui tahap pematangan terlebih dahulu. Bila
saat kematangan belum tiba maka anak sebaiknya tidak dipaksa untuk
meningkat ke tahap berikutnya misalnya kemampuan duduk atau berdiri.
Pertumbuhan dan
perkembangan masing-masing anak berbeda, ada yang cepat dan ada yang
lambat, tergantung faktor bakat (genetik), lingkungan (gizi dan cara
perawatan kesehatan), dan konvergensi (perpaduan antara bakat dan
lingkungan). Oleh sebab itu perlakuan terhadap anak tidak dapat
disamaratakan, sebaiknya dengan mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak (Diktentis Diklusepa, 2003:8).
Pada saat
anak dilahirkan ia sudah dibekali tuhan dengan struktur otak yang
lengkap, namun baru mencapai kematangannya pada saat setelah di luar
kandungan. Bayi yang baru dilahirkan memiliki 100 miliar neuron dan
bertriliun-triliun sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami
akhirnya sambungan-sambungan yang tidak atau jarang digunakan akan
mengalami atrofi. Pemantapan sambungan terjadi apabila neuron
mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan letupan-letupan listrik.
Letupan tersebut merangsang bertambahnya produksi myelin yang dihasilkan
oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi
maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin
banyak synapse yang berarti lebih banyak neuron-neuron yang menyatu
membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah
informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit.
Otak manusia bersifat hologram yang dapat mencatat, menyerap, menyimpan,
mereproduksi dan merekonstruksi informasi.
Kemampuan otak yang
dipengaruhi oleh kegiatan neuron ini tidak bersifat spontan, tetapi
dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang diterima indra.
Stimulasi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak sangat mempengaruhi
struktur fisik otak anak, dan hal tersebut sulit diperbaiki pada
masa-masa kehidupan selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang
tidak mendapatkan stimulasi psikososial seperti jarang disentuh atau
jarang diajak bermain akan mengalami berbagai penyimpangan perilaku.
Penyimpangan tersebut dalam bentuk hilangnya citra diri yang berakibat
pada rendah diri, sangat penakut, dan tidak mandiri, atau sebaliknya
menjadi anak yang tidak memiliki rasa malu dan terlalu agresif.
Stimulasi psikososial
untuk merangsang pertumbuhan anak tidak akan memberikan arti bagi masa
depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak tidak menguntungkan.
Pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara pengasuhan dan
pemberian makan serta stimulasi anak pada usia dini yang sering disebut
critical period ini. Gizi yang tidak seimbang maupun gizi buruk serta
derajat kesehatan anak yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan
pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak dalam mencatat,
menyerap, mereproduksi dan merekonstruksi informasi. Di samping itu,
rendahnya derajat kesehatan dan gizi anak akan menghambat pertumbuhan
fisik dan motorik anak yang juga berlangsung sangat cepat pada
tahun-tahun pertama kehidupan anak. Gangguan yang terjadi pada
pertumbuhan fisik dan motorik anak, sulit diperbaiki pada periode
berikutnya, bahkan dapat mengakibatkan cacat yang permanen (Dirjen
Diklusepa, Depdiknas: 2002).
Konsep di atas menuntut
adanya pengintegrasian aspek psiko-sosial/pendidikan, gizi dan
kesehatan dalam proses tumbuh kembang anak atau dengan kata lain anak
mendapatkan layanan dasar secara holistik.
Dalam perkembangan
anak, pada saat-saat tertentu dapat terjadi kemandegan tugas-tugas
perkembangan (discontinuity), misalnya karena sakit, namun
setelah masa ini berlalu ada tugas perkembangan yang bisa dikejar dan
ada pula yang tidak bisa dikejar sama sekali.
Peranan Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan data sensus
penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa dari jumlah 26,09 juta anak usia
0-6 tahun, sebagian besar (sekitar 17, 99 juta anak atau 68,9%) belum
terlayani dalam pendidikan prasekolah. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul
Athfal hanya mampu melayani sekitar 2 (dua) juta anak dari 12,6 juta
anak usia 4-6 tahun yang ada.
Berkenaan dengan hal
tersebut di atas maka sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah yang
mencakup pendidikan nonformal dan informal – dalam memberikan pelayanan
pendidikan dini pada anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur
pendidikan formal sangatlah penting dan mendesak. Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) yang diselenggarakan pendidikan luar sekolah
berupa kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan
anak usia dini yang sejenis.
Kelompok bermain adalah
salah satu bentuk layanan PAUD bagi anak usia tiga – enam tahun, yang
berfungsi untuk meletakkan dasar-dasar ke arah perkembangan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan bagi anak usia dini dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta
perkembangan selanjutnya, sehingga siap memasuki pendidikan dasar.
Taman Penitipan Anak
adalah wahana pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak yang berfungsi
sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama
orangtuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam
menagsuh anaknya karena bekerja atau sebab lain.
Satuan PAUD sejenis
merupakan bentuk-bentuk layanan PAUD lainnya yang tidak diselenggarakan
dalam bentuk taman penitipan anak ataupun kelompok bermain. Satuan PAUD
sejenis dapat berbentuk: PAUD dalam keluarga dan berbagai layanan
pendidikan lainnya, baik yang bersifat khusus maupun umum yang
diselenggarakan bagi anak usia dini.
PAUD Terintegrasi
Posyandu atau Pospadu adalah pengembangan dari satuan PAUD sejenis, yang
merupakan upaya pendidikan bagi anak usia dini yang dilaksanakan dengan
mengintegrasikan pendidikan dengan program posyandu, sehingga anak
memperoleh layanan dasar secara holistik/menyeluruh yang mencakup
layanan gizi, kesehatan, dan pendidikan.
Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kenyataan bahwa masih
banyak anak usia dini yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan tak
dapat dipungkiri, terlebih bagi masyarakat kelas bawah yang merupakan
sebagian besar penduduk Indonesia yang berada di pedesaan. Hal itu
disebabkan antara lain kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan
bagi anak usia dini masih sangat rendah.
Kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya gizi dan kesehatan untuk peningkatan kualitas anak,
nampaknya jauh lebih baik daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Hasil penelitian Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah
Jakarta dan sekitarnya seperti yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah
Hati (Jalal, 2002: 13) menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat
memandang belum perlu pendidikan diberikan kepada anak usia dini. Hal
ini sangat wajar mengingat bahwa pemahaman masyarakat terhadap
pentingnya PAUD masih sangat rendah serta pada umumnya mereka
berpandangan bahwa pendidikan identik dengan sekolah, sehingga bagi anak
usia dini pendidikan dipandang belum perlu.
Lebih jauh Hadis (2002:
25) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadikan penyebab masih
rendahnya kesadaran masyarakat di bidang pendidikan anak usia dini
seperti: ketidaktahuan, kemiskinan, kurang berpendidikan, gagasan
orangtua tentang perkembangan anak yang masih sangat tradisional, kurang
mau berubah, masih sangat konkret dalam berpikir, motivasi yang rendah
karena kebutuhan yang masih sangat mendasar (untuk survival), serta
masih sangat dipengaruhi oleh budaya setempat yang sempit.
Rendahnya tingkat
partisipasi anak mengikuti pendidikan prasekolah dapat juga dipengaruhi
oleh beberapa hal lainnya seperti: (1) Masih terbatas dan tidak
meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di
pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan
lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (2) Rendahnya dukungan pemerintah
dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Fakta menunjukkan
(Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, 41.092 buah
(99.46%) didirikan oleh pihak swasta sedangkan pemerintah hanya
mendirikan 225 buah (0.54%). Jumlah TK tersebut tidaklah berimbang
dengan jumlah anak yang seharusnya mengikuti pendidikan dini.
Memang berhasilnya PAUD
merupakan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat terutama
keluarga yang merupakan penanggungjawab utama dalam optimalisasi tumbuh
kembang anak. Peran pemerintah adalah memfasilitasi masyarakat agar
mereka dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Upaya pemerintah untuk
memfasilitasi masyarakat antara lain melalui standarisasi kurikulum guna
membantu masyarakat mengontrol penyelenggaraan pendidikan agar tidak
merugikan peserta didik maupun masyarakat, peningkatan kemampuan profesi
dan akademik bagi tenaga kependidikan, peningkatan fungsi keluarga
sebagai basis pendidikan anak, serta pengembangan manajemen pembelajaran
yang mencakup pengembangan metodologi pembelajaran, pengembangan sarana
dan bahan belajar termasuk bacaan anak, pengembangan permainan dan alat
permainan serta pengembangan evaluasi tumbuh kembang anak.
Dalam rangka memberikan
perhatian secara khusus terhadap anak usia dini yang tidak terlayani
pada lembaga formal (TK/RA) maka dibentuklah Direktorat PADU di
lingkungan Depdiknas. Kehadiran direktorat ini terutama untuk memberikan
layanan, bimbingan dan atau bantuan teknis edukatif yang tepat terhadap
semua layanan anak usia dini (di luar TK dan RA) yang ada di
masyarakat.
Masyarakat itu sendiri
juga perlu meningkatkan peran sertanya secara aktif dalam pelaksanaan,
pembinaan, dan pelembagaan pembinaan anak. Untuk itu pemerintah perlu
memberdayakan peranserta masyarakat sebagai upaya menumbuhkan dan
mengembangkan kemampuan masyarakat, dengan cara mengembangkan segala
potensi yang dimiliki agar masyarakat memiliki kemampuan sendiri dalam
menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Dalam kondisi seperti ini,
sinergi antara pemerintah dengan masyarakat sangat diperlukan. Perlu
pula diingat bahwa kebanyakan program PAUD masih berjalan
sendiri-sendiri, tidak ada sinergi antar program yang ada di masyarakat.
Sinergi berbagai unsur
yang berkepentingan dalam pembinaan anak merupakan kunci keberhasilan
upaya pembinaan anak. Pemerintah harus memperluas jaringan kemitraan.
Jaringan kemitraan merupakan kunci efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan program pendidikan, dimana selama ini tumpang tindih
program termasuk pembinaannya, merupakan kesalahan sebagai akibat tidak
berjalannya jaringan kemitraan termasuk koordinasi sebagai salah satu
komponennya. Di samping itu adanya jaringan kemitraan yang luas di
setiap tingkatan institusi masyarakat, mulai dari pusat sampai
grass-root, merupakan jawaban atas keberlangsungan suatu program di
masyarakat.
Program yang mempunyai
jaringan kemitraan memiliki ciri-ciri antara lain tingginya komitmen
semua unsur yang terlibat dan tingginya rasa memiliki masyarakat
terhadap program yang ada. Kedua ciri ini merupakan komponen terpenting
untuk menjamin keberlangsungan suatu program yang pada gilirannya
mengarah pada pelembagaan program di masyarakat. Perluasan jaringan
kemitraan agar efektif hendaknya diarahkan pada penciptaan situasi
kondusif yang menumbuh kembangkan komitmen semua unsur dan kepemilikan
oleh masyarakat terhadap suatu program.
Peranan Keluarga dan Lingkungan
Bagi anak usia dini,
orangtua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga merupakan
lingkungan belajar utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan
sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang
tidak kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak berpikir,
bereksplorasi, bergaul, berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal
yang dapat merangsang pertumbuhan sinaps baru dan memperkuat yang telah
ada serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak (Jalal, 2002:
15). Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah lingkungan
yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada anggapan
bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang berdinding putih,
bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan tanpa
rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak.
Memang benar bahwa
faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi
pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya.
Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor lingkungan
merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal dasar
tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi menyusut.
Jika orangtua karena
satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai pendidik, fungsi
ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga
pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu
berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di
lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB,
TPA & lembaga PAUD sejenis).
Menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan
lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk
bereksplorasi merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak,
anak dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta
diperolehnya pengalaman-pengalaman baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar